Dari blog petunjuk zaman
Riba Adalah Ujian Untuk Umat Ini
Riba Adalah Ujian Untuk Umat Ini
Tiap-tiap umat Allah turunkan ujian besar sebagai pengukur tahap keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Umat Nabi Lut menghadapi ujian homosek, umat Nabi Ibrahim menghadapi Raja Namrud yang mempertahankan berhala, umat di zaman Nabi Musa menghadapi ujian sihir oleh Firaun, umat di zaman Nabi Isa di uji dengan penyakit dan Nabi Isa diberi mukjizat untuk menyembuhkan penyakit kusta dan buta, dan umat Nabi Muhammad s.a.w ialah kekayaan yang menjerumuskan riba.
Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “Sesungguhnnya bagi setiap umat itu mempunyai ujian dan ujian bagi umatku adalah harta kekayaan.” Riwayat at-Tirmidzi
Imam Malik melaporkan bahawa nabi muhammad (saw) mengatakan " Akan datang waktu ketika tidak akan ada yang tersisa nilai kecuali emas dan perak."
Definisi Riba
Ditinjau dari ilmu bahasa Arab, riba bermaknakan: Tambahan, tumbuh, dan menjadi tinggi.
Firman Allah Ta'ala berikut merupakan contoh nyata akan penggunaan kata riba dalam pengertian seperti ini:
"Dan kamu lihat bumi ini keringJ kemudian apabila Kami turunkan air diatasnyaJ hiduplah bumi itu dan menjadi tinggi (suburlah) dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh- tumbuhan yang indah." (QS.Al-Hajj: 5)
Adapun dalam pemahaman syari'at, maka para ulamak mempunyai pendapat yang berbeza dalam mendefinisikannya, akan tetapi maksud dan maknanya tidak jauh berbeda. Diantara definisi yang boleh mewakili berbagai definisi yang ada ialah:
"Suatu akad/transaksi atas barang tertentu yang ketika akad berlangsung, tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syari'at atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi objek akad atau salah satunya”.
Ada juga yang mendefinisikannya sebagai berikut:
"Penambahan pada komoditi barang dagangan tertentu”.
Hukum Riba
Tidak asing lagi bahwa riba adalah salah satu hal yang diharamkan dalam syari'at Islam. Sangat banyak dalil-dalil yang menunjukkan akan keharaman riba dan berbagai sarana terjadinya riba.
Firman Allah Ta'ala berikut adalah salah satu dalil yang nyata-nyata menegaskan akan keharaman praktek riba:
"Hai orang-orang yang beriman) janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." ( QS. Ali Imran:130)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini berkata, Allah Ta'ala melarang hamba-hamba-Nya kaum mukminin dari praktik dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu orang-orang jahiliyyah bila hutang sudah lebih tempoh, mereka berkata kepada yang berhutang, 'Engkau menjelaskan hutangmu atau membayar riba.' Bila ia tidak menjelaskannya, maka pemberi hutangpun menundanya dan orang yang berhutang menambah jumlah pembayarannya. Demikianlah setiap tahun; sehingga hutang yang sedikit menjadi berlipat ganda besar jumlahnya. Dan pada ayat ini Allah Ta'ala memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa bertakwa agar mereka selamat di dunia dan di akhirat.
Pada ayat lain, Allah Ta'ala berfirman:
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Allah telah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwaAllah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. Al-Baqarah: 275-279)
Ancaman Allah Terhadap Pelaku Riba
Ancaman bagi orang yang tetap menjalankan praktek riba setelah datang kepadanya penjelasan dan setelah ia mengetahui bahwa riba diharamkan dalam syari'at Islam,
akan dimasukkan ke neraka. Bahkan bukan sekedar masuk kedalamnya, akan tetapi dinyatakan pada ayat diatas bahwa "ia kekal di dalamnya."
Allah Ta'ala mensifati pemakan riba sebagai
"Orang yang senantiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa."
Ibnu Katsir berkata, "Sesungguhnya pemakan riba tidak rela dengan pembagian Allah untuknya, berupa rezki yang halal, dan merasa tidak cukup dengan syari'at Allah yang telah membolehkan untuknya berbagai cara mencari penghasilan yang halal. Oleh karenanya, ia berusaha untuk mengambil harta orang lain dengan cara-cara yang bathil, yaitu dengan berbagai cara yang buruk. Dengan demikian sikapnya merupakan pengingkaran terhadap berbagai kenikmatan, dan amat zhalim lagi berlaku dosa, yang senantiasa memakan harta orang lain dengan cara-cara yang bathil."
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, "Allah Yang Maha Suci telah menyebutkan sikap seluruh manusia dalam hal harta benda pada akhir surat AI-Baqarah, yaitu terbagi menjadi tiga bahagian: Adil, zhalim, dan keutamaan. Keadilan berupa akad jual beli, zhalim berupa perbuatan riba, dan keutamaan berupa sedekah. Kemudian Allah memuji orang-orang yang bersedekah dan menyebutkan pahala mereka, Dia mencela pemakan riba dan menyebutkan hukuman mereka, dan Dia membolehkan jual beli serta hutang piutang hingga tempoh yang telah ditentukan."
Dan diantara dalil dari hadits-hadits Nabi s.a.w yang menunjukkan akan haramnya riba, ialah hadits berikut:
Dari sahabat ]abir r.a , ia berkata, "Rasulullah s.a.w telah melaknati pemakan riba , orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarinya), dan juga dua orang saksinya." Dan beliau juga bersabda, "Mereka itu sama dalam hal dosanya." (HR. Muslim)
Orang yang dilaknat ialah orang yang dijauhkan atau didoakan agar dijauhkan dari kerahmatan Allah Ta'ala. Agar kita semua semakin memahami tentang betapa besarnya dosa memakan harta riba, maka saya mengajak pembaca untuk merenungkan sabda Rasulullah s.a.w berikut, yang menjelaskan kadar dosa memakan harta riba:
"(Dosa) riba itu memiliki tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan ialah semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dan sesungguhnya riba yang paling besar ialah seseorang yang melangggar kehormatan/harga diri saudaranya." (HR. Ath-Thabrani dan lainnya serta disahihkan oleh Al-Albani)
Karena hukum dan dosa riba demikian besarnya, maka sudah semestinya wajib atas setiap orang Islam untuk memahaminya dan mengetahui berbagai transaksi yang tergolong kedalamnya, agar tidak tergelincir dalam perbuatan dosa besar ini. Lebih-lebih lagi pada zaman sekarang, dimana sikap tamak untuk mengaut harta telah menguasai kebanyakan manusia.
Betapa besarnya dosa riba ini hinggakan Allah dan RasulNya mengisytiharkan perang keatas pengamal riba.
Sahabat nabi Ibnu 'Abbas r.a menjelaskan maksud ini dengan berkata, "Yakinilah (wahai para pemakan riba) bahwa Allah dan Rasul-Nya pasti memerangi kalian."
Pada riwayat lain beliau berkata, "Kelak pada hari kiamat, akan dikatakan kepada pemakan riba: Ambillah senjatamu untuk berperang (melawan Allah dan Rasul-Nya)."
Ibnul Qayyim berkata, "Allah Ta'ala menekankan hukum keharaman riba dengan suatu hal yang paling berat dan keras, yaitu berupa peperangan pemakan riba melawan Allah dan Rasul-Nya, Allah Ta'ala berfirman:
"Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu." (QS. Al-Baqarah: 279)
Pada ancaman ini, dinyatakan bahwa pemakan riba adalah orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah juga telah mengumandangkan peperangan dengannya. Ancaman semacam ini tidak pernah ditujukan kepada pelaku dosa besar selain memakan riba yang berupaya membuat kerusakan di muka bumi. Hal ini dikarenakan masing-masing dari keduanya sedang berupaya membuat kerusakan di muka bumi. Pemakan riba berbuat kerusakan dengan sikapnya yang enggan memudahkan kesusahan orang lain, melainkan dengan cara membebankan kepada mereka kesusahan yang lebih berat. Allah mengisytiharkan kepada pemakan riba peperangan dari-Nya dan dari RasulNya.
Fractional Reserve Banking (FRB)
Fractional Reserve Banking (FRB) merupakan asas sistem kewangan dunia kini adalah tunjang kepada meluasnya amalan Riba-Kapitalis. Oleh kerana perbankan Islam di Malaysia tertakluk kepada kawalan Bank Negara di bawah Akta Bank Islam 1983, maka adalah Bank Islam juga mengamalkan dasar Riba-Kapitalis ini.
Berikutan berkuburnya perjanjian Bretton Woods pada 1971 apabila Amerika Syarikat membebaskan dollar dari bergantung kepada emas dan menjadikan dollar matawang kertas fiat sepenuhnya, nilainya hanyalah di sokong oleh janji kerajaan federal. Dari penggunaan wang kertas fiat inilah menghasilkan konsep FRB.
Fractional Reserve Banking secara mudahnya adalah pihak bank hanya perlu mengekalkan pecahan kecil sahaja duit penyimpan sebagai rezab, manakala yang selebihnya digandakan dan diberi sebagai pinjaman dan dikenakan lagi bunga (bank islam di istilahkan untung). Sebab inilah agaknya golongan Riba-Kapitalis amat menentang perlaksanaan hukum hudud yang menakutkan pencuri, kerana tanpa pencuri rakyat tidak takut untuk menyimpan di rumah dan bank-bank tidak berpeluang mencetak wang gandaan yang baru! Penciptaan matawang melalui sistem FRB ini sebenarnya mengadakan keadaan kuasa membeli atas angin yang menimbulkan ketidak adilan didalam pemilikan harta benda dan menyebabkan inflasi,seterusnya kenaikan harga barang akan ditanggung oleh rakyat akibat kesan faedah (interest/riba) yang terbina didalam wang kertas.
Kadar pecahan (FRB) ditentukan oleh bank pusat dan istilahkan sebagai statutory reserve requirement (SRR). Di Malaysia, kadar SRR terbaru yang dikeluarkan oleh Bank Negara Malaysia untuk perbankan Islam pada 2 April 2011 adalah minimum 2% daripada jumlah simpanan. Keperluan simpanan rezab adalah nisbah simpanan yang mesti disediakan oleh pihak bank bagi keperluan pengeluaran simpanan oleh pelanggan. Di bawah system ini, simpanan wang yang asalnya RM1,000 sebagai contoh, membolehkan pihak bank meningkatkan simpanan kepada kadar maksimum RM50,000 (iaitu RM1,000 bahagi dengan kadar SRR sebanyak 2%). Penciptaan wang baharu ini yang laksanakan melalui kaedah mengadakan pinjaman sebenarnya adalah mainan perakaunan yang tidak perlu melibat duit sebenar. Inilah juga menjadi amalan dalam system perbankan islam yang mengukuhkan lagi kewangan Riba-Kapitalis ini. Ini bermakna bahawa pembiayaan bank Islam didasarkan pada wang pinjaman bank yang mereka tidak miliki samada wang tunai ataupun simpanan emas.
Inilah isu yang amat berat perlu dibincangkan dan di tangani oleh ulamak-ulamak perbankan dalam pembiayaan Islamik (dan juga dalam konsep konvensional) ialah isu yang melibatkan bagaimana duit dihasilkan oleh bank Islam. Ulamak-ulamak perbankan inilah yang menjadi barisan hadapan mempertahan dasar-dasar yang jelas menyeleweng ini, apakah mereka terlalu bijak ataupun jahil dalam asas-asas sistem kewangan. Apakah mereka mendapati habuan yang amat lumayan hingga lupa akan ancaman perang yang Allah isytiharkan terhadap perbuatan riba.
Semua bank Islam menghasilkan wang apabila mereka memberikan pinjaman atau pembiayaan. Sebagai contohnya, apabila bank Islam membiayai sebuah rumah yang berharga RM250,000, ia hanya menghasilkan wang melalui akaun semata-mata. Duit pendeposit tidak akan ditolak apabila RM250,000 itu dibayar oleh pihak bank kepada pembeli ataupun pemaju.
Sudah tentu ini akan mewujudkan inflasi.Kebanyakan inflasi dalam ekonomi disebabkan penghasilan wang secara percuma, berbanding dengan kekurangan bekalan. Inflasi pnghasilan wang baru ini akan mengakibatkan cukai ke atas orang ramai dengan merampas kuasa membeli simpanan mereka. Namun, ulama Syariah hanya mendiamkan diri, tiada berkata apa-apa tentang penghasilan wang ini. Penghasilan wang baru ini sudah tentu seperti mencuri kekayaan negara.
Jika seseorang meminjam RM1,000 pada kadar faedah 10 peratus, orang tersebut perlu memulangkan kembali sebanyak RM1,100. Kadar faedah yang dikenakan sebanyak RM100 dikatakan sebagai riba atau memakan riba yang telah ditetapkan terlebih dahulu, diperolehi tanpa mengambil apa-apa risiko. Tetapi bagaimana jika RM1,000 itu tidak menghasilkan apa-apa? Ia juga bukan menghasilkan kuasa pembeli yang percuma tanpa risiko 'negatif'? Malah, jika 10 kali ganda kadar faedah, bukankah ini dianggap sebagai riba yang hebat?
Oleh itu, menjalankan pembiayaan Islamik ini yang diberikan berbagai-bagai nama seperti Bai’ Bithaman 'Ajil, Bai’ Murabahah, Musharakah Mutanaqisah, dengan wang yang dihasilkan secara percuma oleh sistem bank ini harus dipersoalkan. Kita berharap ulamak perbankan yang bijak pandai itu perlu menjelaskan perihal yang sebenar terhadap system kewangan perbankan Islam yang di amalkan di sini kepada umat Islam atau bersedialah menghadapi perang yang diistiharkan oleh Allah dan Rasul!
Kesan Terhadap Hakmilik dari system FRB
Kesan pemilikan daripada FRB boleh dihuraikan sebagai berikut. Pertimbangkan seorang pengusaha mendekati bank dengan rancangan perniagaan, mencari pinjaman perniagaan untuk membeli tanah, bangunan, mesin dan lain-lain keperluan. Apabila lulus, bank mencipta wang baru melalui FRB dan pinjaman itu diberikan ke pengusaha dengan kadar untung tertentu. Perbankan Islam akan menggunakan wang baru dibuat untuk membeli aset dan menjualnya kembali kepada pengusaha dengan membuat keuntungan. Implikasi adalah sebagai berikut. Pengusaha itu menggunakan pinjaman wang untuk membeli tanah, bangunan dan mesin yang dia inginkan. Dia sekarang mempunyai aset tersebut. Sekarang persoalannya adalah; Pada awalnya, baik bank maupun pengusaha, tidak memiliki aset. Bahkan bankpun pada awalnya tidak punya mempunyai wang. Tapi pengusaha dan bank menjadi pemilik asset tersebut selepas mencipta wang atas angin, melalui proses FRB. Dari perspektif ekonomi sebenar, setiap pindah milik aset, yang bukan hadiah, atau juga warisan, mestilah di beri pampasan. Jika demikian, siapa yang kemudian membayar untuk pembelian asset tersebut? Perhatikan bahawa pengenalan wang baru telah membolehkan pemilikan aset. Namun sekarang lebih banyak wang ada dalam sistem ekonomi dari sebelumnya. Inilah caranya inflasi dicipta. Akibatnya matawang kertas yang kita pegang ini sekarang sudah kurang kuasa beli kerana inflasi yang dicipta ini. Sudah tentu jumlah kuasa beli sebenar kita akan hilang dalam ekonomi bersamaan dengan nilai aset yang dipindahkan kepada pengusaha dan bank!
Oleh kerana itu inflasi merupakan fenomena kewangan, iaitu akibat pertambahan bekalan wang, secara tidak disedari ia merupakan 'cukai' terhadap ekonomi, cukai tersembunyi samada untuk orang kaya atau miskin. Sesungguhnya ia menepati istilah riba yang sebenarnya iaitu mengambil memakan harta secara bathil.
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta kamu sesama kamu dengan jalan yang salah (tipu, judi dan sebagainya), kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengasihani kamu." (An-Nisaa' 4:29)
Dari perspektif Islam, apakah itu dibenarkan bahawa bank mengambil pemilikan aset seseorang dan meminjamkan kembali kepada seseorang lain untuk tujuan perusahaan atau kegunaan, setiap kali adanya seseorang memerlukan aset tersebut? Misalnya, ketika seseorang perlu rumah,bank mencipta wang baru dan menggunakannya untuk memiliki rumah tersebut dan pinjaman itu kepada diberikan kepada pelanggan dengan dikenakan bunga atau pengambilan untung dalam kes pembiayaan Islam? Ini jelas melanggar prinsip-prinsip pemilikan dalam Islam. Ini adalah sama dengan mencuri, iaitu mengambil pemilikan aset milik orang lain tanpa pengetahuan dan kebenaran mereka. Ia bahkan dapat disebut sebagai lebih buruk daripada mencuri kerana Dalam kecurian, pencuri mengambil risiko ditangkap dan dihukum. Namun, di bawah system perbankan kecurian dilakukan di dalam undang-undang dan kerananya FRB boleh disebut sebagai ‘pencuri yang di lindungi undang-undang’. Unsur-unsur riba amatlah nyata kerana itu adalah kuasa beli dicipta atas angin, tanpa sebarang pekerjaan atau tidak menanggung sebarang risiko. Jelas amat bertentangan dengan Al-Quran ayat Al Baqarah bahawa umat Islam diperintah untuk tidak memakan harta orang lain dengan tipu-daya.
"Dan janganlah kamu makan (atau mengambil) harta (orang-orang lain) di antara kamu dengan jalan yang salah, dan jangan pula kamu menghulurkan harta kamu (memberi rasuah) kepada hakim-hakim kerana hendak memakan (atau mengambil) sebahagian dari harta manusia dengan (berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (salahnya)." (Al-Baqarah 2:188)
Perbankan Islam Tidak Ambil Risiko Menanggung Kerugian
Ditinjau dari tujuannya, berbagai transaksi yang dilakukan oleh manusia dapat kita bagi menjadi tiga bahagian:
- Transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan seperti jual beli, sewa-menyewa, mudharabah dan lain-lain.
- Transaksi yang bertujuan memberikan pertolongan dan meringankan kesusahan orang lain seperti hutang-piutang, peminjaman barang, berniaga, hibah dan lain-lain.
- Transaksi yang bertujuan memberikan jaminan kepada pihak lain bahwa haknya tidak akan hilang seperti gadaian, jaminan dan lain-lain.
Akad jenis kedua, biasanya terjadi antara orang yang sedang dalam kesusahan sehingga ia perlukan pertolongan orang lain yang mempunyai harta benda atau lainnya. Pada keadaan seperti ini, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak menangguk dalam air keruh. Bahkan bukan sekadar melarang, Islam juga menganjurkan umatnya untuk memberi bantuan kepada orang yang memerlukan.
Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah s.a.w bersabda,
"Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya.”
Dalam hal berhutang, Allah Ta'ala berfirman:
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 280)
Ibnu Taimiyyah berkata,
"Pada asalnya tidaklah ada orang yang sudi untuk bertransaksi dengan cara riba, selain orang yang sedang dalam kesusahan. Jika tidak, seseorang yang telah senang tidak rela untuk membeli barang harga 1000 dengan harga 1200 secara hutang, bila ia memang tidak memerlukan wang 1000 tersebut. Orang yang rela untuk membeli barang dengan harga yang melebihi harga semestinya orang yang dalam kesusahan. Sehingga perbezaan antara harga tunai dan harga kredit adalah kezaliman kepada orang yang sedang mengalami kesusahan... Dan Riba benar-benar terwujud padanya akibat kezaliman kepada orang yang sedang kesusahan. Sebab itulah, riba sebagai lawan dari sedekah.
Allah tidaklah membebaskan orang-orang kaya, sehingga mereka menolong orang-orang fakir karena itulah kemaslahatan orang kaya dan juga fakir dalam urusan agama. Dengan alasan yang sangat mulia ini, syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang didapati dari pinjaman hutang, dan menyebutnya sebagai riba. Oleh karenanya para ulama menegaskan hal ini dalam sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih, yaitu:
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.”
Imam Asy-Syairazi asy-Syafi'i berkata, "Tidak dibenarkan setiap pinjaman hutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan. Misalnya ia menghutangi orang lain 1000 (dinar), dengan syarat penghutang menjual rumahnya kepada pemberi hutang, atau mengembalikannya dengan kepingan dinar yang lebih baik atau lebih banyak, atau menuliskan surat jaminan sehingga ia diuntungkan dalam wujud rasa aman selama di perjalanan.
Diriwayatkan dari sahabat Ubay bin Ka'ab, Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas r.a bahawa mereka semua melarang setiap hutang yang mendatangkan manfaat karena hutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan pertolongan, sehingga bila pemberi hutang mensyaratkan suatu manfaat, maka akad hutang telah keluar dari tujuan utamanya."
Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, "Tidak dibenarkan untuk berhutang wang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi hutang misalnya dengan syarat, pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudhalah bin 'Ubaid r.a:
“Setiap hutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba.”
Maksudnya setiap piutang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi piutang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung."
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap keuntungan dalam hutang piutang, baik berupa materi atau jasa atau yang lainnya adalah haram, karena itu semua adalah
riba. Bukan hanya mengharamkan riba, Islam juga membuka pintu-pintu kebaikan dan amal shalih, yaitu dengan menganjurkan umatnya untuk menunda atau memaafkan haknya,
Allah Ta'ala berfirman:
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan bila orangyang berhutang itu dalam kesusahan maka berilah tangguh sampai di berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS.Al-Baqarah: 280)
Untuk sedikit mengetahui betapa besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang yang memberikan pertolongan kepada orang yang sedang kesusahan, maka saya mengajak pembaca untuk kembali merenungkan kisah berikut:
Sahabat Hudzaifah r.a menuturkan: Rasulullah s.a.w bersabda, "(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Dia beri harta kekayaan, kemudian Allah bertanya kepadanya, Apa yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian) Ia pun menjawab, Wahai Rabbku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual beli dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu, Kemudian Allah berfirman, 'Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini." (Muttafaqun 'alaih)
Betapa indahnya syariat Islam dan betapa mulianya akhlaq seseorang yang benar-benar mengamalkan ajaran agama Allah. Jika beranjak dari hati yang jernih dan obyektif kita mau merenungkan syariat Islam yang berkaitan dengan hutang piutang ini, niscaya kita akan sampai pada keyakinan bahwa syariat ini adalah syariat yang benar-benar datang dari Allah Ta'ala.
Setelah meneliti beberapa hadis Rasulullah s.a.w dan pandangan ulamak-ulamak yang muktabar apakah kaedah perbankan Islam memenuhi kehendak syariat Islam yang di anjurkan oleh Rasulullah s.a.w atau untuk memberikan pertolongan kepada orang yang susah untuk mematuhi perintah Allah didalam al quran? Setakat ini peranan bank Islam adalah jelas mengaut keuntungan semata-mata meneruskan dasar Riba-Kapitalis. Hal ini adalah kerana perbankan Islam tidak akan menanggung sebarang risiko kerugian seperti termaktub didalam perjanjian dengan peminjam. Bila peminjam mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapati perbankan segera menghantar surat tuntutan untuk mengambil tindakan mahkamah, untuk mendapatkan kembali keseluruhan modal yang dikeluarkan berserta dengan tambahan bunga tanpa kurang walau sedikit, bahkan pasti pula di tambah dengan berbagai-bagai yuran kononnya bayaran pentadbiran. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan peminjamnya sebagai pengusaha bukanlah mudharabah akan tetapi hutang-piutang berunsur riba walaupun di hias dengan berbagai-bagai istilah. Para ulama dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pengusaha memberikan jaminan seluruh atau sebahagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan Islam, iaitu mewajibkan atas pengusaha untuk mengembalikan seluruh modal bila terjadi kerugian adalah persyaratan yang bathil.
Kesimpulan
Kita sama-sama menyeru kepada golongan bijak pandai didalam kewangan Islam supaya menjelaskan perkara yang sebenarnya kepada umat Islam tentang perbankan Islam setakat ini yang mengamalkan system FRB untuk mengembangkan dana mereka yang jelas merupakan tunjang kepada Riba-Kapitalis. Ulamak-ulamak perbankan ini sepatutnya malu kepada Yahudi kerana mereka mengesahkan kaedah kapitalis ini keatas umat Islam, sekurang-kurangnya Yahudi mengharamkan transaksi riba sesama mereka tapi selain Yahudi mereka jalankan dengan penuh tipu daya. Perbankan Islam menguar-uarkan berbagai instrument padahal kaedah asas perbankan sama-sekali tidak berubah dari system Riba-Kapitalis.
Rujukan
1. Dr Muhammad Arifin Badri; Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syariah
2. Ahamed Kameel M.M, Moussa L; Ownership Effects Of FRB An Islamic Perspective
3. Tarek El Diwany, Islamic Banking Isn’t Islamic (www.islamic-finance.com)
4. Andrew Carrington Hitchcock, The Synagogue of Satan (http://www.iamthewitness.com)
5. BNM/RH/GL 007-1.- Islamic Banking and Takaful Department. Statutory Reserve Requirement (http://www.bnm.gov.my/guidelines/01_banking/04_prudential_stds/01_statutory_20090701.pdf)sumber
No comments:
Post a Comment